Skip to main content

Nasionalisme di Antara Perbatasan


Phroni cuma seorang anak sd biasa yang tak punya ingus lagi di bawah hidungnya. Dengan menggunakan baju putih lusuh, celana merah, dia berjalan ke sekolah dengan beralaskan tanah, tanpa sepatu. Dalam usia semuda itu, terlihat bakatnya untuk menjadi seorang atlet lari jarak jauh, di mana dia berjalan kurang lebih 1 jam untuk sampai di sekolahnya. Dengan semangat yang tinggi, hal ini dilakukannya setiap hari, tanpa kenal lelah. Ketika ditanya apa cita-citanya, dia menjawab "Dokter". "Kenapa mau jadi dokter". "Biar bisa merawat ibu kalo nanti ibu sakit" (Sialan... ne anak kerjaannya bikin orang ingin nangis aja, ini kan bulan puasa).
Begitulah potret kehidupan seorang anak di daerah perbatasan di Kalimantan Barat, yang saya saksikan di sebuah tv swasta. Hidup terpencil, dapat dicapai dengan menggunakan perahu melewati sungai-sungai dengan jeram-jeram  terjal yang cuma cocok dilewati atlet arung jeram level olimpiade. Kalau seandainya melewati sungai yang surut airnya, perjalanan terpaksa dilakukan dengan hiking di hutan, dan mempunyai waktu bersih untuk sampai dalam waktu 1 hari 1 malam. Mungkin 1 hari 1 malam terdengar biasa, tapi yang membuat hal itu menjadi wow adalah besar biaya untuk mencapai tempat itu, 1,5 juta bo... (Bisa beli hp baru dengan uang sebanyak itu… 1,5 juta...)


Phroni mungkin tidak sadar bahwa biaya untuk menjadi seorang dokter-kata teman saya-dapat membuat orang tuanya tiba-tiba memegang dada, dan megap-megap tidak karuan. Tapi, semangat untuk terus belajarlah yang patut kita tiru, dalam keterbatasan itu, di mana dapat bersekolah pun sudah syukur, dia tetap berusaha merubah nasibnya dan mencapai cita hingga langit tertinggi. Seragam cuma satu, sepatu pun tak ada, apalagi kaos kaki, tapi tiap hari rajin ke sekolah. Bandingkan dengan kita (maksudnya ya kita semua, bukan cuma saya), sekolah atau kuliah pakai kendaraan pribadi, baju tiap hari ganti, sepatu mengkilat, masih aja sering bolos sekolah atau kuliah, bilang di sekolah panas lah, gurunya nggak asyik lah, ban bocor, dan kalau sakit (bahkan kalau cuma sakit sedikit, cuman flu doang) sudah malas menuntut ilmu. "Hamba sahaya penyakit" begitu istilah guru saya dulu di SMA. Gimana bangsa kita mau maju, kalo orang yang fasilitas pendidikannya lengkap begitu malas? Kalah dengan orang yang tempat tinggalnya berjarak 1,5 juta? (iPhone dapet gak ya 1,5 juta...)

Tapi, seperti adat orang Indonesia, dalam kesempitan, pasti selalu saja ada keuntungan. Meskipun Phroni bersekolah di tempat yang jauh dan terpencil, untungnya Phroni masih memiliki guru-guru (tak banyak, kalau tidak salah cuma 4 orang), yang masih setia mengajari Phroni dan teman-temannya. Hukum ekonomi mengatakan bahwa semakin susah suatu barang didapat, maka semakin mahal harga barang itu, tapi tidak bagi pendidikan. Pendidikan di daerah perbatasan di tempat Phroni (yang berjarak 1,5 juta tadi) yang notabene-nya sulit dicapai, bisa dikatakan cukup murah, hingga gaji guru-nya pun juga cukup rendah, cuma berkisar 1,5 juta (1,5 juta kan bisa buat beli hp baru, jangan di bilang murah oi...). Kenapa saya bilang murah? Karena gaji diambil ke kantor kecamatan. Seperti yang saya bilang di awal, perkampungan Phroni berbiaya 1,5 juta dari kecamatan. Jadi, kalau tiap bulan mengambil gaji ke kantor kecamatan, gaji guru tersebut tidak akan balik modal, malah selalu rugi 1,5 juta tiap bulannya, keluar 1,5 juta untuk biaya ke kantor kecamatan, dapat 1,5 juta dari kantor kecamatan, keluar lagi 1,5 juta untuk kembali ke sekolah. Seorang guru di sana pun bercerita, dia pernah ditawari untuk mengajar di Malaysia, yang jaraknya tidak begitu jauh di sana, dengan gaji yang lebih baik, tapi dia menolak. "Saya masih dibutuhkan di sini" Saya sedih bin nangis lagi, nasionalisme di perbatasan yang sangat tinggi.

Lama berpikir untuk menuliskan sambungan dari tulisan ini, saya teringat kembali tentang sebuah soal mata pelajaran PPKn waktu SD, sekarang jadi KWN, dulunya namanya malahan PMP (eh kok malah nulis gak jelas gini... hey... ayo fokus... lupa neh jadinya mau nulis apa, e... oia ingat...) Dalam soal PPKn itu tertulis "Di masa sekarang, kita dapat berjuang membela negara dengan cara... a. memakai narkoba b. belajar c. jadi teroris d. jadi pengangguran. Anak SD manapun pasti akan menjawab belajar, karena mereka (dan kita dulu) tahu bahwa jawaban "b" lah yang benar, tanpa paham maksudnya. Gimana caranya belajar bisa membela negara? Masa' misalnya ada negara lain menyerang negara kita, kita diam aja, diam dan belajar? Di mana akalnya? 100% kita bakal gugur (nggak enak pakai kata mati), gugur konyol karena cuman diam waktu diserang, lalu dikenang sebagai pahlawan, cuma itu yang saya paham dulu.

Tapi, kalau kita resapi betul-betul, belajar sebagai ajang membela negara bukan cuma jawaban yang benar, tapi belajar memang merupakan salah satu cara membela negara. Memang, kongkritnya sih membela negaranya bukan saat kita belajar waktu SD, atau SMP, atau SMA, atau pas kuliah, tapi aplikasi ilmu yang telah kita pelajari itulah yang bisa kita gunakan untuk membela negara. Jika kita ahli dalam bidang mesin, kita bisa membuat senjata super canggih, dan bisa kita gunakan untuk menjajah bangsa lain. Bisa juga seandainya kita adalah ahli kimia, kita bisa membuat bom super dahsyat yang punya daya hancur 10km,tapi bukan ini maksudnya. Kita dapat membuat teknologi baru untuk meningkatkan produksi pangan kalau kita rajin belajar. Kita dapat membuat tabung gas anti-ledak andaikata kita rajin belajar. Kita dapat membuat jalanan ajaib bebas macet jika kita rajin belajar. Kita dapat membuat pompa super  yang bisa memompa air ketika banjir andai kita rajin belajar. Kita dapat membuat pemurni udara yang bisa mengurangi polusi kalau saja kita rajin belajar. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk negara jika kita rajin belajar. (Stop, mari saya hitung dulu berapa kata yang sudah saya ketik. E... 4900, tanggung sekali untuk sampai ke 5000)

Satu hal yang membuat saya sekali lagi terharu adalah ketika Phroni, dengan wajah riang, mengibarkan bendera sang saka merah putih di halaman sekolahnya, lalu hormat dengan penuh rasa hormat (walau pun mungkin ini hanyalah sebuah dramatisasi). Hal ini tentu masih membuktikan, walau pun hidup kurang diperhatikan negara, Phroni, dan juga keluarga, teman, dan mungkin orang-orang di sekitarnya, masih mengganggap mereka adalah warga negara Indonesia, di mana mereka dilahirkan, dibuai dan dibesarkan, tempat mereka berlindung di hari tua, dan tempat akhir mereka menutup mata dan berpulang kembali ke penciptanya. Berat bagi kita (terutama saya) untuk bisa membantu mereka saat ini, tapi paling tidak, dengan meniru semangat mereka, kita sudah dapat membantu mereka saat ini, tapi paling tidak, dengan meniru semangat mereka, kita sudah dapat membantu mereka.

(diketik untuk mengikuti lomba Cinta Indonesiaku di kaskus.us)

Popular posts from this blog

Baca Komik Kindaichi

Tutorial Mystery Case Files - Return to Ravenhearst FINAL

Cerita Indomie yang Kocak, Lucu, sedikit Romantis