Skip to main content

Jika kalah = menang

Banjarbaru, 29 Desember 2010, 07.15PM
Saya tiba di kampus, dan ternyata sudah ada gerombolan (a.k.a teman2 saya :hammer) yang menunggu kedatangan saya (ok... gak nunggu sebenarnya, cuman mereka datang lebih dulu).  Kami bukan mau kuliah (kuliah pagi aja malas, apalagi kalo malam ha hay...) , kami bukan sedang merencanakan demo besar-besaran, bukan merencanakan tawuran sama kampus lain, tapi kami mau olah vokal, teriak habis-habisan, mendukung timnas Indonesia di piala AFF melawan "our lovely neighbour", Malaysia. Singkatnya, kami mengadakan nonton bareng pake layar tancep yang ditancep di depan gedung kuliah.
Ok, pertandingan dimulai... karena saya malas membahas mulai awal pertandingan, mari kita percepat waktu ke 65 menit kemudian. GOL LOL LOL LOL LOLOOOLLLLLLah... Malaysia membobol gawang Indonesia, dan sekarang Malaysia unggul aggregat 4 - 0. Ok, kita punya 35 menit untuk membalas 4 biji (e... sebenarnya 5 biji) gol tersebut, dan itu agak konyol, meski untuk dijadikan sebuah harapan. Konyol karena memang konyol, sulit sekali untuk dilakukan, jadi daripada berharap yang nggak-nggak, mending kita pulang ke rumah, dibawa ngorok, dan mimpi indah, toh Indonesia bakalan sulit menang. Tapi pulang kah kami setelah gol tersebut? Nggak lah, meski agak kecewa, kami masih percaya kita bisa membobol 5 kali. Teman saya teriak: "ayo... tiap 6 menit sebiji gol". Dan cerita singkat-singkat cerita, kita akhirnya menang 2 - 1, menang tapi gagal juara, karena kalah selisih gol 4 - 2.

Ok, tetangga kita memang juara, tapi apakah kita juga gagal juara? Hey... kata bapak Tebe, juara itu, nggak mesti juara satt-tu...
Juara satu emang dapat piala atau trofi, dapet hadiah yang lebih gede, dapat pengakuan yang lebih tinggi, dapat... e... dapat... dapat anu..., itu.... macam-macam lah... Tapi, kita gak dapat apa-apa? I'm totally very very disagree with this motion :D.
Meski kita gagal juara, tapi kita mendapatkan apa yang lebih penting dari sekedar juara. Coba kita lihat bagaimana antusiasme kita sebelum, saat, dan sesudah pertandingan. Sebelum pertandingan coba tengok, waktu membeli tiket aja contohnya. Hanya ada 2 momen dimana kita mati-matian, desak-desakan, pingsan-pingsanan, gencet-gencetan, bau-bauan, wangi-wangian, buat beli tiket, yang pertama waktu mau mudik pulang kampung, nah yang kedua ya waktu beli tiket pertandingan Indonesia. Kenapa bisa kaya gitu? Kita mati-matian, desak-desakan, pingsan-pingsanan, genc... ah sudah ah, lebay..., kita kaya gitu karena kita kangen sama keluarga di kampuang nan jauh di mato, dan kangen artinya sayang, sayang artinya cinta (oh... so sweet). Nah, begitu juga saat beli tiket timnas, karena kita cinta dengan Indonesia, karena kita bangga menjadi warga negara Indonesia. Kapan lagi kita bisa teriak lantang, menyanyi dengan penuh khidmat, menggetarkan jiwa, merasuk sukma, mengalun dalam simfoni nada, kalo bukan pas nonton laga Indonesia, dan pas masih duduk di SD-SMA :hammer. Apalagi musuhnya adalah "our lovely neighbour". Daripada demo kagak jelas sama "our lovely neighbour", mending dukung timnas, makin semangat dah mendukung timnas mengalahkan mereka.
Saat pertandingan, tak ada henti-hentinya sorak sorai suporter sepanjang 90 menit pertandingan. Ngapain coba lo lo pada teriak 90 menit sampai nggak bisa ngomong, kalo bukan karena lo cinta Indonesia. Gw aja ma pacar gw gak bakalan segitunya nyanyi sama baca puisi buat dia sampai 90 menit, meski gw cinta banget sama dia (pembaca nanya: emang lo punya pacar? gw:belum sih, itu cuma contoh aja :)).
Coba kita tengok lagi keadaan stadion pas maen. Gelora Bung Karno memerah. Ya, liat kesana kemari, tetap warna merah. Kenapa bisa begitu? Kemana hijau'nya bonek, orange-nya the jack, biru-nya viking sama aremania, kuning-nya pendukung Sriwijaya (yang gak disebut jangan marah ya...) apa mereka bosan dengan timnas? boikot? ha hay... kocak kalo kita berpikir seperti itu. Mereka melebur menjadi satu warna, menanggalkan warna-warna tim mereka, demi satu warna merah yang berani, Indonesia. Disinilah Bhineka Tunggal Ika benar-benar terwujud. Kita gak bakalan mempermasalahkan dia itu dari suku, agama, ras, golongan mana, yang penting, kalo dia pake baju warna merah, berarti dia saudara kita, saudara-saudara sebangsa dan setanah air. Merdeka!!! (kok kayak pidato 17 agustus-an). Berbeda-beda tetap satu jua, inilah yang kita cari dan kita impikan sejak dulu kala. Merdeka!!! Tak peduli apa pun yang ada di kepala, yang penting bersatu mendukung timnas Indonesia. Merdeka!!!
Tak jauh dengan kondisi gerombolan saya di kampus. Ya, kami dari berbagai program studi di kampus, melebur jadi satu, nonton bareng, menjadi paduan suara "ahhhhhhh" "wooooooooooo" "aduuuuuuuuuuh" "GOOOOOOOOOOOOOL" yang terdengar seperti sudah sering latihan paduan suara bertahun-tahun. Ya, kami satu, karena satu hal: INDONESIA.
Dan akhir pertandingan: Indonesia menang, tapi gagal juara. Dan penonton pun pulang... eh WTF??? Penonton nggak pulang? yang bener? OMG, BMG... Ya, masih banyak suporter yang masih terus menyanyi, meski pertandingan sudah selesai, sorak sorai "terima kasih untuk timnas" terus menyesaki udara. Tak sedikit yang masih setia menunggu, menyanyikan yel-yel, menunggu timnas keluar dari stadion menuju bis, hanya untuk tetap memberikan support dan apresiasi yang tinggi untuk timnas. Ya, ini timnas kita, kandang kita, negara kita, INDONESIA.
Inilah kita saat itu, Nasionalisme yang luar biasa, dan Bhineka Tunggal Ika yang kuat terasa, menjadi garuda yang perkasa, dan semoga ini dapat bertahan selamanya.
Kita tidak kalah, kita menang. Kemenangan timnas, kemenangan suporter, kemenangan seluruh rakyat Indonesia.
(jangan lupakan soal insiden laser ya... Suporter Indonesia sangat dewasa, tidak membalas dendam dengan membalas mengarahkan laser. Ya, meskipun ada sekali terlihat laser, menurut kabar, pelaku laser itu digebuki suporter lain dan dibawa ke kantor polisi)

Popular posts from this blog

Baca Komik Kindaichi

Tutorial Mystery Case Files - Return to Ravenhearst FINAL

Cerita Indomie yang Kocak, Lucu, sedikit Romantis